Psikologi itu bukan ilmu tentang perdukunan, keparanormalan, atau apala itu. Meskipun ada beberapa bagian dari ilmu psikologi yang mempelajari itu. Sayangnya di masyarakat awam, ilmu ini masih dianggap sebagai ilmu tentang dunia begituan. Misalnya ketika aku bertemu dengan segerombolan ibu-ibu di stasiun Poncol Semarang saat akan pulang ke Brebes.
Ibu : Lagi kuliah Mas?
Aku : Iya Bu (jawabku sok sopan, halah)
Ibu : Oooh, kuliah di mana?
Aku : di UNDIP
Ibu : oh UNDIP, ambil apa?
Aku : (Ni Ibu nanya apa nginterogasi akau sich? Emang aku maling, pake nanya mau ngambil apa? Tapi, ya sudahlah namanya juga orang awam) Psikologi, Bu
Ibu : Oh, Psikologi, penerusnya Mama Laurent berarti ya? Hahaha (sambil ngajak ketawa teman-temannya yang lain)
Aku : (Jedug-jedugin kepala ke tembok)
Atau ketika suatu saat aku KKN di sebuah desa,
Pak Carik : Kuliah di mana aja nich?
Teman-temanku : Menjawab satu per satu jurusannya
Aku : Psikologi Pak
Pak Carik : Oh, Ya Anda meskipun mempelajari yang gaib-gaib juga harus tetap mempelajari yang materi
Aku : Oh, My God, dosa apakah aku ini masuk ke psikologi?
Ya sudahlah, psikologi bukan ilmu yang seperti itu. Gak kebayang lulusan psikologi dibekalin bola kristal
Klien dadakan : Eh, lu kan kuliah di psikologi? AKu ini orangnya kaya apa ya?
Orang Psikologi : bentar-benar, saya lihat di bola kristal ini (sambil menggerak-gerakan jari-jemari di atas bola kristal), wah, di sini banyak asap, kamu adalah orang yang tertutup, sulit bergaul, suka bakar sampah, hidupmu bakalan kabur, masa depanmu suram, dan ...
Klien dadakan : MAMAAAH, AKU INGIN MATI AJA....
Meskipun bukan hal baru lagi jika mahasiswa psikologi itu sering diminta untuk menilai kepribadian secara dadakan. "Eh, aku dilihat dong kepribadianku" Perlu dipahami bahwa orang psikologi itu manusia biasa jadi gak bisa asal jebred "Lu punya gejala homo ya?" Perlu ada penyelidikan lebih lanjut, gak asal nerawang. Misalnya melakukan asesmen berupa wawancara, observasi, jika perlu pake alat tes baru bisa menyimpulkan orang tersebut memiliki kepribadian seperti apa?
Pernah aku disuruh nebak umur seseorang yang baru aku kenal, ah, emang aku apaan? Dukun?
Ketika kita pertama kali mempelajari psikologi, akan berkenalan dengan Psikologi Umum, yang membahas hal-hal seputar psikologi. Mulai dari apa itu psikologi? Sejarahnya, metode penelitiannya (Ingat, psikologi itu ilmu yang ilmiah bukan ilmu asal nebak, asal nyunduk), lalu tema-tema umum apa saja yang menjadi dasar dalam mempelajari psikologi termasuk teori-teorinya.
Salah satunya motivasi, motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk bertindak. Berbicara mengenai motivasi, aku terkadang bertanya pada diriku sendiri, apa sich motivasiku masuk ke psikologi? Ada yang bilang (Siapa yang bilang?) kuliah di psikologi itu banyak
diminati. Tetapi, aku sendiri masih bingung kenapa banyak yang berminat
di Psikologi? Dulu dari SD sampe SMA tu cita-citaku pengen masuk
Kedokteran, karena tu aku suka ma pelajaran Biologi karena denger-denger
dari Dokter-Dokter di tempat Ibuku bekerja di sebuah puskesmas, ketika
mau kuliah di Kedokteran yang penting mata pelajaran Biologinya, “Saya
saja tu bukan juara kelas dulu” ujar seorang Dokter. Meskipun ya mata
pelajaran biologiku juga ga bagus-bagus banget.
Entah, mengapa kelas 3 SMA haluanku berubah untuk kuliah di
psikologi, bearawal dari keherananku pada suatu bidang ilmu bernama
psikologi di daftar jurusan mana yang bisa dipilih siswa kelas 3 setelah
lulus nanti. “Apa itu Psikologi?” tanyaku pada waktu itu. Di buku itu
hanya tertulis psikologi ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia.
“Hmmm, untuk apa perilaku manusia dipelajari? Kaya gak ada kerjaan
aja.”
Keinginanku untuk masuk psikologi pun semakin menguat setelah banyak
pertanyaan dalam pikiranku mengenai manusia, “Kenapa sich seseorang
sampai berpikiran seperti itu hingga melakukan hal semacam itu?” (Gila
gue baru nyadar klo dulu gue dah kaya Pilsuf aja. Haha) Mulailah
sedikit-sedikit membaca buku psikologi populer.
Pilihanku untuk masuk Psikologi ternyata berbanding jungkir balik
dengan ayahku. Ayahku berharap aku bisa masuk ke farmasi. Ayahku melihat
bahwa banyak orang lulusan farmasi yang sukses di bidang jualan obat.
Ditambah pada waktu itu memang psikologi gak terlalu populer di
kampungku. “Apa kue psikologi?” dengan logat orang Brebes-an yang suatu
saat nanti aku jawab’”Ilmu sing memelajari wong edan, ngerti?” (Ilmu
yang mempelajari orang gila, faham?)” Suatu saat nanti orang-orang di
kampungku juga mengira aku tu masuk di kedokteran, “Wah hebat ya anake
jenengan bisa sekolah neng kedokteran!” kata orang kampung kepada ibuku
“Iya, kedokteran sing ngurusi wong edan.”
Akhirnya aku berhasil meyakinkan ayahku jika Psikologi pun prospek
kerjanya bagus, meskipun aku sendiri waktu itu tidak yakin dengan
pernyataanku itu. Pada waktu pendaftaran SPMB, hingga detik terakhir aku
masih bingung memilih pilihan keduaku, yang akhirnya aku memutuskan
Biologi. UNDIP (Universitas Diponegoro) menjadi pilihanku karena waktu
itu aku kurang kenal dengan apa itu UI atau UGM, karena pernah ke
Semarang dan juga sebagai orang Jawa Tengah yang aku kenal sebagai
universitas terbesar ya Cuma UNDIP. Entah, aku kurang tertarik untuk
mengikuti jejak teman-temanku untuk kuliah di universitas tetangga yaitu
UNNES. Terutama setelah mendengar nasehat ibuku setelah tau kalau untuk
ke UNNES harus melewati jalan yang menanjak tinggi. Hal ini ternyata
terpatahkan setelah ternyata aku mendapatkan kampus UNDIP di Tembalang
yang juga jalannya naik ke atas.
Aku memiliki seorang pakdhe yang juga mengajar sebagai dosen di UNDIP
terutama jurusan Ilmu Kelautan. Sebenarnya aku juga ditawari untuk
kuliah di situ aja, tapi setelah tau jika kuliah di situ juga harus
pandai berenang aku pun mengurungkan diri. Waktu itu juga aku
terinspirasi dari sebuah buku kecil yang bercerita tentang seluk beluk
SPMB, dan bagaimana menembus SPMB hanya dengan kekuatan mimpi. Salah
satu kutipan yang aku suka, yaitu "Pakailah celana di kepala" eh bukan, ngawur, ini kutipannya“Ada dua jenis manusia di dunia
ini, orang yang realis dan pemimpi. Mereka yang realis tahu ke mana akan
pergi, mereka yang pemimpi telah sampai di sana (Robert T.Orben).” Kamut itu seakan menjadi mantra bagiku untuk bisa kuliah di jurusan yang aku inginkan, yaitu Psikologi (jeng jeng, backsound lagunya odong-odong)
Setelah melewati tes SPMB, aku mendadak tidak yakin dengan hasilku
karena hari pertama aku nilai kacau balau, meskipun hari kedua akhirnya
aku berhasil menggunakan metode-metode aneh yang dipelajari ketika aku
mengikuti Bimbel di kota sebelah dulu. Karena ragu dengan hasilku, aku
dianjurkan pakdheku untuk mencoba mendaftar kelas non-reguler di kampus
yang sama meskipun dengan biayaya kuliah yang lebih tinggi, selain itu
kelasnya masuk sore. Akhirnya aku mendaftar 2 minggu sebelum pengumuman
kelulusan.
Hari H pengumuman SPMB, dengan berbingung ria dan berharap-harap
cemas aku pun menunggu pengumuman itu. Tetapi, tidak diduga ternyata
hari itu Nenekku yang selama ini memotivasiku, hari itu meninggal. Hikz
hikz sedih… Menjelang siang, temanku sms ke nomerku, “Bro, kamu diterima
SPMBnya”, “Masa? Jurusan apa?” “Ora ngerti” Seperti maling aku langsung
lari ke rumah temanku (untungnya gak disangka maling beneran, wah gawat klo gitu, nanti ada dua jenazah di ruahmu, ckckck). Setelah aku lihat memang itu namaku, tetapi aku
lupa itu kode untuk jurusan apa? Aku pun pulang lagi untuk membeli Koran
serupa yang ternyata hari itu tinggal satu. Sepulangnya di rumah,
langsung aku cocokan, “Alhamdulillah, Allohu Akbar, aku diterima di
Psikologi.” Langsung aku katakan hal itu pada ibu, “Ya Allah, nak embah
ra menangi”
Bismillah, meskipun pada waktu itu banyak yang mengatakan ke aku
untuk tidak pergi meninggalkan ibu karena nenek sudah tidak ada,
akhirnya aku pun berangkat. Pada waktu daftar ulang, dengan PDnya aku
baris di antrian fakultas Kedokteran (Haha meskipun gak jadi masuk
kedokteran yang penting bisa baris di sini). Ya karena pada waktu itu
Psikologi UNDIP masih program studi di bawah fakultas Kedokteran.
Bersyukur karena aku kini diterima di Psikologi UNDIP, meskipun dengan
hasil Tes SPMB yang aku tidak tahu bagaimana hasilnya, tetapi aku kini
sadar bahwa kutipan dari Robert T.Orben ada benarnya juga. Gambar sebuah
gedung di UNDIP yang kelak aku akan tahu bahwa itu bernama Widya Puraya
yang terpampang di brousur yang ada di kantor Bimbingan Konseling SMAku
ternyata telah mampu mengantarkan aku untuk berdiri di depannya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar