Minggu, 24 Juni 2012

Selaksa Tak Berpendar



Warning!!!!
Tulisan ini, tulisanku ketika lagi Melow... hikz...jadi ya gitu deh...

11.30 WIB – Stasiun Tegal
Aku masih terduduk di salah satu bangku di depan antrian loket. Menunggu dapat dizinkan masuk ke peron sekaligus untuk sholat dzuhur. Tanganku mulai mencari buku kecilku di dalam tas gantungku. Buku kecil yang selalu menemaniku kapanpun aku ingin bercerita. Goresan tinta mulai aku goreskan di kertas dalam buku itu. Menulis memoriku jauh ke belakang.
____________
Hampir enam tahun sudah aku berdiri di sini, berjuang di kota Semarang ini dengan segala mimpi, segala cerita, dengan segala sesuatunya yang telah membuatku terbuka melihat dunia. Hampir enam tahun sudah aku berada di kota ini, di kampus ini. Kampus yang dahulu kau do’akan untukku. Aku masih berjuang dengan tugas akhirku yang aku masih terus berjuang meskipun ketika satu per satu kawan-kawanku telah pergi memulai hidup baru mereka sebagai sarjana, aku masih berjuang dengan segala keluh kesah manusia yang bercerita kepadaku meskipun aku sebenarnya pun butuh untuk mengeluh, dan masih berjuang dengan diriku sendiri yang berusaha antara melawan dan berdamai.
Kau yang mengajariku tentang kesabaran, bahwa kesabaran bukanlah menyerah, bahwa kesabaran bukanlah keterjatuhan, tetapi tetap tegar berdiri meskipun banyak yang berusaha menjatuhkanku. Hingga kini aku masih berdiri tegar meskipun di tengah banyak orang yang bersandar padaku. Tetaplah tersenyum meskipun banyak orang yang mentertawakanku. Kau yang mengajariku.
Hampir enam tahun sudah dan air mataku masih sering menetes ketika mengenangmu. Kau yang selalu menengkan aku di tengah kegelisahan hidup yang aku rasakan, di sela kekacauan pikiranku, dan di antara manusia dengan topengnya bersama kepalsuannya. Aku belum menemukan sosok sepertimu hingga kini. Aku merindukanmu yang selalu berbicara dengan bahasa-Nya.
Aku belum bisa menemukan sosok sepertimu. Aku hanya bertemu dengan orang yang mendengarkan tetapi tak pernah benar-benar mendengarkan, orang yang melihat tetapi tak pernah benar-benar melihat, orang yang berbicara tetapi tak pernah benar-benar berbicara, orang yang memahami tetapi tak pernah benar-benar memahami, orang yang mengerti tetapi tak pernah benar-benar mengerti,  orang yang merasakan tetapi tak pernah benar-benar merasakan. Salahkah aku jika aku mengatakan bahwa semua itu hanya ilusi? Bahkan dalam ketidaksempurnaanku sendiri. Aku tak mengerti ke mana lagi aku akan mencari sosok sepertimu?
Seandainya kau masih di sini, aku ingin bercerita banyak tentang hari-hari yang aku jalani saat ini. Seperti ketika bercerita tentang hari-hari yang aku jalani bersama segala sesuatunya. Ketika kau duduk di samping ranjangku ketika aku terbaring sakit. Ketika kita duduk bersama ketika makan malam.
Kau masih ingat? Ketika aku masih SD, ketika suatu hari aku pulang sekolah lebih awal dan aku tak menjumpai suaramu menjawab dari dalam rumah membalas ketukan pintu dan teriakan. “Mbah … Mbah … Mbah …” Aku tetap tidak mendengar suaramu dari dalam rumah. Aku berlari ke belakang dekat dengan kamarmu dan kembali berteriak “Mbah … Mbah … Mbah …” sambil mengetuk pintu lebih keras.
Aku pun cemas bukan main memikirkan segala kemungkinan terburuk yang terjadi, mengingat usia senjamu. Jujur aku cemas, aku khawatir aku tak ingin kehilangmu saat itu. Aku berlari lagi ke pintu depan rumah, dan masih berusaha keras memastikanmu ada di dalam rumah. Teriakanku pun semakin keras, “MBAAAH … MBAAAH … MBAAAH…” aku tak kunjung mendengar suara darimu.
Aku mulai sedih memikirkan segala kemungkinan terburuk yang terjadi. Di usiaku yang masih sangat anak-anak aku mulai khawatir jika nanti di hari-hari ke depan, aku hanya menjumpai rumah kosong ketika aku pulang sekolah. Karena ayah bekerja di luar kota dan hanya seminggu sekali pulang ke rumah, sedangkan ibu pun bekerja di luar kota juga dan pulang ketika menjelang sore. Aku terduduk di depan pintu rumah depan sambil memikirkan segala kemungkinan. Tetapi, betapa bahagianya aku ketika melihat sosokmu memanggil, “Ndol” dari luar pagar rumah sehingga aku pun langsung berlari menuju ke arahmu dan segera memelukmu sambil menangis keras, “Eh, udah pulang ya? Iya, maaf Mbah tadi lagi di warung, nggak tau kamu sudah pulang, cup cup cup yuk masuk yuk.”
Aku lega bukan main bahwa kau masih ada, dan kau masih di sini bersamaku saat itu. hilanglah segala kekhawatiranku, kegelisanhku, kecemasanku, karena kau masih ada. Kau yang selalu menemaniku ketika aku masih sekolah di TK, kau menjagaku, ketika aku beranjak SD pun kau masih mengantarku hingga aku pun memiliki keberanian untuk berangkat sendiri ke sekolah.
Aku hanya lelah mencari, mencari, dan mencari sosok sepertimu. Banyak orang menawarkan diri untuk membuka hati, tetapi aku merasa bahwa aku tidak bisa nyaman dengannya. Andai kau masih hidup saat ini, aku ingin bercerita banyak tentang hidup, tentang ayah dan mamah yang rajin mengurus ayam-ayamnya, tentang teman-temanku dengan segala ceritanya yang aku dengarkan, tentang kuliahku yang belum menemui ujungnya, tentang cinta yang kau wasiatkan agar jangan banyak memberi harapan, dan tentang diriku yang masih berusaha dengan segala ketidaksempurnaanku.
Kadang aku ingin menyerah di tengah semua pergolakan batin yang tidak kunjung berdamai. Tetapi, aku selalu mengenang langkahmu yang goyah untuk menghadapi dunia, aku selalu mengenang do’amu yang terakhir kau sebutkan untukku, “Moga, putu-putuku dadi wong berhasil kabeh, koen ya bisa diterima sing neng koen pengini, saben bengi tak dongakna  (Semoga, cucu-cucuku jadi orang berhasil semua, kamu juga bisa diterima di yang kamu inginkan, setiap malam aku do’akan).” Entah mengapa, aku merasa saat itu, adalah pesan terakhir untukku.
Kau selalu berusaha menergarkan aku di tengah kegalauan hidup yang aku jalani, seperti ketika aku harus berjuang sendiri dengan semua problematika hidupku yang rumit bersama ayah dan mamah. Hingga akhirnya berujung di sebuah kamar rumah sakit yang tenang. Aku baru bisa tenang di ruangan itu, berbaring dengan kenyamanan. Meskipun saat itu gambaran kematian sangat jelas di hadapanku. Jujur aku takut, ketika semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan semua yang telah dan akan terjadi. “Istighfar Ndol!” katamu mengingatkanku yang belum juga memejamkan mata. Sehingga ketika kau tidak mendapati seseorang untuk berbicara, berbicaralah dengan hatimu. “Dah sekarang kau jalani hidup lebih senang aja, jangan kamu terlalu memikirkan banyak hal.”
Mungkin sejak saat itu aku mulai tidak tertarik untuk meneruskan cita-citaku untuk kuliah ke kedokteran, tidak berminat dengan prestice sebuah tempat pendidikan, tidak berminat juga dengan jurusan yang memiliki peluang kerja lebih meyakinkan. Aku tertarik dengan cara manusia berpikir, aku ingin membaca cerita di balik apa yang dipikirkan manusia.
Di tengah semua problematika, kau juga meyakinkan aku bahwa masih ada orang-orang yang bisa aku percaya. Masih ada teman-temanku yang masih berusaha menghiburku, meskipun mereka mungkin tidak akan pernah mengetahui seberapa beratnya bebanku. Tetapi, mungkin kau bisa membantu beban mereka, agar kau bisa melihat bahwa masalahku tidak lebih berat dari masalah mereka.
5 Agustus 2006, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan untukku karena aku diterima di jurusan yang aku inginkan, seperti yang kau do’akan untukku. Tetapi, aku merasa kau tidak adil, kau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Meskipun akhirnya aku sadari bahwa Allah mungkin merindukan orang sepertimu. “Ya Allah, Ndol kok ya mbah rak sempet menangi (Ya Allah, Ndol kok ya Mbah tidak sempet mengalami)” kata mamah memelukku sambil menangis di tengah kesenduan pagi itu, air mataku sulit menetes hari itu.
Setiap orang berbicara apa itu cinta, tetapi bagiku Cinta tidak lebih dari definisi yang tidak tersimpulkan. Dan setiap orang juga berbicara apa itu hidup, tetapi bagiku hidup tidak lebih dari sebuah proses menunggu untuk kehidupan selanjutnya.
Aku rasanya ingin berteriak, sekeras aku dulu bernanyi di atas panggung. Tapi, melihat masa sekarang ketika hampir semua orang ingin berteriak, yang terdengar di telingaku hanya tangisan tanpa air mata. Mereka ingin semua orang tau bahwa mereka menginginkan sesuatu tetapi di mataku yang terlihat hanyalah mereka sedang berusaha untuk menghabiskan energi mereka.
Kau masih ingat ketika aku menangis keras sewaktu kecil? Hanya untuk meminta mainan baru yang aku inginkan. Aku berteriak, menangis, bahkan melempar, memblokir pintu setelah aku pikir ternyata saat ini orang-orang pun melakukannya ketika dewasa. Mereka berteriak, bahkan menangis, melampar, bahkan juga memblokir jalan untuk menenutut sesuatu. Aku pikir apa bedanya dengan perilaku seorang anak kecil?
Aku kemudian berpikir ternyata manusia di negeri ini belum sepenuhnya dewasa, meskipun usia mereka sudah beranjak tua dan secara teoritis telah dinamakan manusia dewasa seperti di mata kuliah psikologi perkembangan yang aku pelajari di kampus. Aku pun menyadari bahwa aku kini telah beranjak dewasa dalam usiaku. Aku telah meninggalkan masa-masa anak-anak dan masa remajaku bersamamu. Kini aku melewati masa-masa ini sendirian tanpamu. Aku berusaha tegar bertahan dengan pijakanku yang kadang pun rapuh.
Tiga hari setelah pemakamanmu aku memutuskan untuk berangkat memulai mimpiku sendirian tanpa ditemani ibu seperti biasanya. Pertama kalinya aku pergi ke Semarang sendirian tanpa ditemani siapapun. Hanya berbekal pakaian seadanya untuk beberapa hari ke depan.
Kereta api kaligung bisnis mulai merepat di stasiun Tegal tetapi waktu untuk sholat dzuhur sudah dimulai. Aku selalu mengingat baik-baik kau selalu mengingatkanku untuk sholat tepat pada waktunya. Karena semakin banyak waktu yang tertinggal, kau bilang dosaku akan semakin bertambah. Selalu berusaha mengingatkan aku ketika tersesat, bahkan ketika aku pun tidak sadar aku tersesat.
Air wudhu yang aku ambil siang itu sebelum keberangkatanku terasa begitu segar membasahi setiap kulitku. Setiap takbir yang aku kumandangkan di sholatku siang itu telah memantapkan keinginanku untuk melanjutkan mimpiku. Melanjutkan do’a yang telah kau penjatkan untukku. Melanjutkan tugas Allah SWT untukku menimba ilmu-Nya. Semuanya terasa dalam aku rasakan siang itu di setiap gerakan sholatku. Terbayang sosokmu yang kini telah tiada. Terbayang do’a dan cinta yang telah kau berikan untukku dan cucu-cucumu yang lain. Tapi, kini aku harus pergi meninggalkan semua kenangan di sini untuk membawa mimpiku jauh di sana.
Sudah hampir enam tahun sudah dan kereta Kaligung kini semakin berganti bentuk, tidak seramai dulu. Aku menyadari bahwa semuanya kini telah berubah. Aku tak perlu berdesak-desakan seperti dulu.
Hampir enam tahun sudah kini aku berjuang dengan  segala kepayahan yang kadang aku rasakan tidak kunjung menemukan harapannya. Tetapi, di tengah kepayahanku itu, aku mencoba menemukan lagi semua cinta, semua do’a, semua anugerah yang ada di wajah-wajah orang-orang yang telah Allah izinkan untuk aku temui, aku kenal, hingga aku cintai. Ada bahasa-Nya yang aku dengar dari mereka, ada cinta-Nya yang aku rasakan dari mereka, dan ada anugerah-Nya yang aku lihat dari mereka. Meskipun tak juga sempurna seperti dirimu bagiku, mereka akan selalu menjadi warna dalam hidupku.
Kau benar selalu ada alasan untuk membuatku tetap percaya pada orang-orang yang aku cintai meskipun orang-orang itu mungkin mengecewakanku. Berusaha untuk mengambil jarak dan ketika sesuatu yang buruk terjadi, aku telah siap. Tidak lebih juga bahwa aku mungkin lebih sering mengecewakan mereka dengan segala egoisku, dengan segala kesombonganku, dengan segala sesuatunya yang mungkin hati-ku terlalu keras untuk menyadarinya.
Aku masih terus berjuang menggapai semua mimpiku, meskipun kadang aku terjatuh, terbangun, terjatuh lagi, bangun lagi dan seperti itu seterusnya. Seperti dulu kau dan ibu yang mengajariku berdiri dan berjalan. Aku belum juga menemukan sosok untukku bercerita seperti dirimu. Yang mehamahami ceritaku meskipun aku tak berucap, berusaha menguatkan aku meskipun aku tidak tau lagi bagaimana untuk bangkit.
Dunia akan terus berputar dan waktu akan terus berubah, Semuanya telah berubah. Semua cerita bukan lagi seperti cerita yang dahulu. Seberapa keras aku mencari, aku tak akan pernah menemukan sosok sepertimu lagi dalam hidupku. Tetapi, dengan cinta yang kau ajarkan padaku, aku berusaha untuk percaya pada mereka yang mewarnai hidupku. Sebenarnya itu bukan ilusi, hanya saja aku peru melihatnya dari sebuah kenyataan yang pasti bahwa semuanya akan indah pada waktunya.
Sosok yang sama sepertimu memang tidak akan temukan. Tetapi, cintamu adalah cinta Allah, yang aku yakini ada di setiap manusia dan orang-orang yang mewarnai hidupku. Ada cinta di setiap orang. Aku seharusnya bersyukur bahwa tidak semua orang mengenal kakek maupun neneknya. Beberapa juga hampir tidak mengenal ayah dan ibunya. Aku beruntung mengenal itu semua meskipun di tengah ketidak beraturan yang aku alami. Tapi, aku belajar banyak hal untuk mencintai mereka apa adanya.
Aku pernah ke Solo, dan aku teringat cintamu ketika begitu jauh malangkah hanya untuk bertemu kakakmu yang sedang terbaring sakit. Meskipun langkahmu sudah tidak setegar dulu. Meskipun akhirnya justru kau yang meninggal duluan. Maka aku pun percaya bahwa hidup itu untuk memberi, tidak usah berharap seberapa banyak apa yang akan diterima. Teruslah memberi meskipun sebenarnya kau yang lebih butuh untuk diberi.
Terima kasih Mbah, untuk setiap cinta yang kau berikan kepadaku. Untuk setiap bahasa-Nya yang berusaha kau fahamkan kepada diriku. Untuk setiap do’a yang kau panjatkan untukku. Izinkan aku untuk melangkah lebih jauh lagi menggapai setiap mimpiku, mimpi kita bersama. Meskipun aku tak tau di mana dan kapan aku akan terjatuh lagi, dan berusaha untuk bangkit sendiri tanpamu. Sepuluh ribu langkah ataupun lebih yang telah kau tempuh semoga aku bisa tempuh sepertimu.
Aku terus mempertanyakan ke mana jalan hidupku sebenarnya? Ketika melihat banyak orang sudah mulai menemukan jalan hidupnya, aku masih mencari ke mana jalan hidupku? Tetapi, cita-citaku hanya satu, ingin melihat dunia ini dengan mataku sendiri. Mungkin suatu saat aku tidak akan ada di sini lagi mengunjungi makammu seperti biasa ketika aku pulang.
Kereta Kaligungku sudah mulai siap untukku membawaku berangkat lagi ke Semarang. Sudah begitu lama aku tidak melakukan perjalanan dengan kereta api ini. Aku tau mungkin suatu saat ketika aku pulang lagi dengan kereta api ini, aku sudah bisa menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.
25 Juni 2012 sebuah tulisan kecil oleh Imam Faisal Hamzah
 

Selasa, 19 Juni 2012

Kalau Cinta jangan GR




17 Juni 2012, 22.19 WIB, kost
“Lho memang ceritanya gimana, Mas?” Seorang Bapak bertanya kepadaku ketika sarapan pagi. Aku hanya mendengarkan kedua celotehan Amin dan Zaldhi yang tidak juga usai membicarakan “Cewek Idaman.” Wah, kalau Mas Faisal ni ga ada gegernya kalo lagi suka ma cewek” kata Zaldhi.
“Ya yang penting jangan bawa teman kalau nanti ngelamar.” Celetukku kepada mereka.
“He’e mengko kaya Salman Al-Farisi” Kata Amin
“Lho gimana maksudnya?” Tanya seorang Bapak kepada Amin
“Tu Faisal yang paling apal ceritanya” Sepertinya aku orang yang sudah siap kecewa terpengaruh banget ma cerita itu. cerita yang dulu diceritakan oleh Ustad Salim A.Fillah waktu mengunjungi masjid sederhana Fakultas Psikologi UNDIP.
Aku memandangi wajah Amin, Zaldhi, dan Pak Feri, wajah mereka menanti harap dariku. “Waktu itu Salman hendak melamar seorang perempuan yang didambakannya. Karena Salman hanyalah imigran maka diajaklah sauahabatnya, Abu Darda’ unuk menemaninya. Setelah di rumah si perempuan, Abu Darda’ lah yang membuka pembicaraan dan menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada si ayah perempuan yang dimaksud. Bahwa Salman ingin meminang sang perempuan. Maka dengan bijak si bapak menyerahkan ke anak perempuannya. Setelah berunding juga dengan ibunya, maka perempuan itu berkata, “Jika Salman yang menanyakan hal tersebut, jawabannya tidak” hati Salman tentu sangat kecewa dengan hal ini, karena cintanya tertolak. Tapi kemudian si perempuan itu melanjutkan pembicaraannya, “Tapi, jika Abu Darda’  memiliki maksud yang sama, jawaban saya adalah Iya” Hati Salman mungkin semakin teriris karena cintanya justru tak disambut, tetapi justru sahabatnyalah yang disambut oleh si perempuan. Salman cepat menguasai diri dan mengatakan, ‘Allahu Akbar, baiklah uang yang sudah aku kumpulkan ini aku berikan untuk pernikahan kalian, dan aku siap menjadi saksinya.’”
“Wah, sulit ne itu” kata Pak Feri, Amin tersenyum, dan Zaldhi hanya tersenyum pertanda semoga tidak terjadi pada dia serta aku. Masih heran kenapa cerita itu masih tergambar jelas di benakku.
Entahlah ini cerita paliiiiing membekas padaku. Mungkin pelajarannya bagiku adalah kalau cinta itu ya harus siap kecewa, kedua adalah jangan kalau cinta jangan GR. Kadang serba sulit ditebak, mungkin seseorang merasa bahwa inikah jodohku, karena kedekatan pada seorang lain jenis (dan paling sering GR tu cowok), tetapi ternyata dia dikecewakan, “Aku sudah punya calon, Mas” hadeeeh gak kebayang sakitnya kalau dibilangin gitu. Atau “Maaf, kamu bukan cowok yang aku harapkan, kita berteman saja ya?” huhuhuhu kalau hati cowok modern ya gitu deh, diskoan.
“Ya dulu paling gak mandi sampai dua hari” kata pak dosenku waktu menceritakan tentang perempuan dambaanya yang ternyata menikah dengan orang lain. Atau cerita tentang ustad yang aku temui ketika menjemputnya untuk acara di kampus, bahwa dulu dia itu dijodohin ma bapak si cewek. Dan si cewek itu sebenarnya punya pacar. Jadilah si ustad itu diteror terus ma pacarnya cewek. Tetapi keputusan diserahkan kepada si cewek, dan setelah memikirkannya matang-matang, maka si cewek pun mau menikah dengan ustad tersebut. Rumit memang.
Siap dikecewain, “Kalau itu terjadi sama kamu gimana Sal?” “Ya do’akan semoga aku bisa setegar Salman.”
Oya cerita selanjutnya adalah Salman tidak kemudian membenci sahabatnya dan juga perempuan yang didambakannya tetapi tertolak itu. tapi, suatu ketika istri Abu Darda’ itu mengeluhkan suaminya yang terus saja beribadah tetapi melupakan istrinya kepada Salman. Iya kepada Salman sahabat Abu Darda’. Kemudian Salman meminta izin untuk menginap dan tidur bersama Abu Darda’ (gak kebayang gimana perasaan si perempuan ada dua orang yang pernah berharap padanya dan satunya orang yang memang dia harapkan.hehehe).
Jamnya  makan, Abu Darda’ justru mau berpuasa, Salman berkata, “AKu tidak akan makan jika kau tidak makan” sebagai sahabat pun dia luluh dan akhirnya membatalkan puasanya.
Ketika malam mau tidur, Abu Darda’ justru akan menunaikan sholat malamnya. “Tidurlah Salman” kata Abu Darda’, “Tidak hingga kau tidur di sini bersamaku” kemudian Abu Darda’ pun luluh.
Esoknya peristiwa itu dilaporkan Abu Darda’ kepada Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. Mengatakan, “Kau yang salah” sambil menunjuk Abu Darda’ “Salman yang benar”
Ya cinta tertolak bukan berarti dukun bertindak? Tetapi, bagaimana menjaga sebuah hubungan jangan sampai rusak hanya karena sesuatu yang bukan takdirnya. ^^v Memang butuh energy lebih, emosi lebih kuat untuk mempertahankannya. Ada konteks ukhuwah yang harus dijaga juga dalam cerita Salman dan Abu Darda’ tersebut.
Sedangkan ukhuwah itu selalu memberi dan memberi, bukan diukur dari seberapa yang akan kau terima, tetapi justru dari sebarapa yang kau berikan. Bahkan jika kau tidak menerima apapun dari yang kau berikan. Karena kebaikan itu bukan untuk mendapatkan cash back dari apa yang sudah kita perbuat, tetapi dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Sangat sulit memang kalau aku pribadi mempraktikan ke teman-temanku sendiri, “Aku pinjem punyamu boleh? “ “Bayar” ya kadang jawaban seperti ini sering dijumpai, meskipun konteksnya mungkin bercanda. Ya kalau kondisiku lagi punya banyak uang, aku akan bayar tetapi jika tidak ya mau bagaimana lagi berarti aku mencari alternatif lain.
Intinya buat teman-temanku, adek-adekku, atau siapapun yang baca tulisanku ini, kita harus ambil jarak dengan harapan kita pada seseorang. Kalau kata Rasullullah itu janga berlebihan mencintai seseorang bisa jadi nanti kau akan membencinya, dan jangan kau berlebihan membenci seseorang, bisa jadi kau akan mencintainya. Jika nanti suatu saat kita dikecewakan, kita sudah berada dalam posisi yang aman dan siap untuk meangkah lebih jauh lagi. Jika masih mau berburu cinta, mungkin idenya Pak Prie GS bisa dipake, buat nembak tiap cewek, “Heh, mau gak jadi istriku? Kalau mau bulan depan kita nikah” silakan aja kalau punya PD tinggi. Reaksinya, mungkin si cewek shock, histeris, atau pingsan.
Terus gimana kalau suka gimana? Ya diem aja, sampai mati pun itu jauh lebih baik, dan katanya juga jihad juga kan?  Kalau emang udah, siap nikah aja. Tapi, kalau belum siap kemudian bilang, “Tunggulah aku di batas waktu” batas waktu yang mana? Batas waktu usia loe??? Mati dong??? Janjiin sekarang pun gak ada gunanya, kalau kata seniorku, bisa saja nih kamu janjiin sekarang mungkin nantinya setan akan menggodamu, mungkin kamu akan tertarik dengan yang lain bisa aja?
Tulisan ini dibuat setelah aku mendengar, melihat, dan merasakan bahwa aku dan semua  teman-temanku sudah tidak lagi remaja, kita sudah dewasa sehingga kadang obrolannya juga bukan lagi tentang, “Mainan apa nih yang lagi up date? Tamiya ato Bey Blade?” kadang lucu juga melihat adek-adek angkatanku ngobrolin cewek yang mereka suka, dan tiba-tiba jadi cemburu ketika ada cowok lain yang menggodanya. Atau teman-temanku yang ngebet nikah sampe berbuah galau. Atau melihat diriku sendiri sampai ada yang bilang, “Faisal, itu kalau diajak berbicara tentang cinta, suka diem aja.” Sampe mamahku bilang, “Kamu tu homo ya??” hadeeeh
The last, aku tak mau memperumit cinta seperti dala film-film maupun cerita-ceita tentang cinta. Cinta bagiku simple seperti dalam film dan buku Poconggg juga Pocong,
Cinta itu kaya angkot, kadang kita harus nunggu, mencari sendiri, kadang juga harus berlari buat mengejarnya. Tetapi, ketika sudah di dalam angkot kita baru sadar bahwa angkot yang kita naiki salah jurusan. Kadang giliran sudah dapat angkot yang kita mau, kita baru tau kalau kita diduain, ditigain, bahkan diempatin. Dan jika udah nemu angkot yang cocok nih, pertanyaan baru muncul, “Mau dibawa ke mana angkot kita?”
Kata Bang Poconggg juga bahwa Single itu prinsip, dan jomblo itu nasib. Jika ada yang Tanya, “Kamu yang mana Sal?” jawab sendiri apa yang kau pikirkan tentangku. Mungkin iya aku berprinsip tetapi mungkin juga memang nasibku gini.hehe Nice ^^b
Lagi males nulis, jadi nulis aja apapun…

Jumat, 08 Juni 2012

Galau Itu…



8 Juni 2012, 7.58 WIB
Abis nonton film Poconggg Juga Pocong, film yang bukunya juga aku anggap sangat berpengaruh padaku.hehe satu kalimat yang aku suka adalah single itu prinsip, jomblo itu nasip. Aku suka bukunya karena unik menggambarkan dunia galau dari seikat pocong.
7 Juni 2012, entah kenapa dunia rasanya galau, dapet sms galau, gak dapet sms juga galau. Hedeeeh, gak tau deh. Aku ge mencoba mengkaji tentang apa itu galo. Kata pak Dekan, galo itu bahasa psikologinya Depresif. Hmmm, bisa juga. Tapi, aku mikirnya galau itu semacam keadaan di mana kita ingin keluar dari sebuah situasi tetapi kita sendiri belum bisa keluar, akhirnya semacam tersesat di dalamnya. Kaya main maze lah, gak tau ke mana kita akan keluar? Akhirnya muncul berbagai macam respon yang luar biasa dari diri sendiri ntuk mentasai keadaan seperti itu, entah dengan kesedihan, atau berpura-pura senang dan semuanya baik-baik saja padahal tidak.
Kadang juga banyak orang yang menyangkal bahwa dirinya galau tetapi menggap baik-baik saja. Tetapi bawaannya itu serba horror terus. Bentar-bentar pengin makan, ato ngisep darah.hehe
Dari film poconggg juga pocong aku mencoba mengamati cirri-ciri galau itu

Sensitif
Yang pertama sensitif, orang galau itu kaya orang PMS, gampang tersinggung, gampang berubah moodnya. Misalnya aja si poconggg sewaktu dia merasa diinak-injak harga dirinya hanya karena mau temenan ma grupnya Anjaw gak boleh, atau ketika ngeliat cewek yang disukainya (Sheila) jalan ma cowok lain.
Nah, sensitive itu juga misalnya kaya orang yang ge skripsi (kaya aku nih) kalo denger kata skripsi aja, biasanya, “AH JANGAN SEBUT KATA ITU, PLEASE” atau kalo ge ada masalah nih ma seseorang juga, “AU AH!!!” sensitive kaya poconggg, “Dulu aku ma Sheila juga ke ilalang kenapa tukang foto itu ajak Sheila ke sini juga?” “Dulu aku ma Sheila juga ke sini, kenapa mereka harus di sini juga?” ya gitu gitu deh

“Melow”
Orang galau itu suka ma yang mellow-melow, dengerin lagu misalnya yang mendukung perasaanya. Seakan-akan tuh kegalauannya itu kaya di film-film, ada soundtraknya. Suka banget denger lagu-lagu yang mengekspresikan perasaanya saat itu, lagu patah hati, lagu kekecewaan, lagu kemarahan, “Ambilkan bulan Bu, ambilkan bulan Bu, untuk menerangi di saat galau” hedeeeh. Yang cukup kreatif mungkin akan segera mengekspresikan dalam sebuah etikan gitar yang sendu, hantaman drum yang lambat, atau alunan piano yang lembut, mungkn sangat cocok jika bisa memainkan biola. Tetapi mungkin jika sudah terbawa suasana, tiba-tiba permainannnya semakin keras dan cepat seakan-akan mengekspresikan perasaannya yang akan meledak. DUAAARRR!!!
 Atau tiba-tiba menjadi puitis, mengekspresikan dirinya dalam bait-bait yang menggambarkan kegalauannya, “Oh kenapa mawar itu merah, daun itu hijau, aku galau” gak mutu!!! Atau mungkin tiba-tiba juga sensitive terhadap segala sesuatu,  “Lihatlah awan itu mendung, seakan-akan dia faham perasaanku ini, lihatlah daun-daun berguguran seakan-akan faham bahwa hatiku ini terasa hancur, biarkan aku rasakan hujan, airnya menetes demi tetes menyentuh kulitku, hapuskan segalau’ JEDUEEEERRR!!!’ ala mak petir petir!!!!” kaya si Poconggg, “Ketika Galau menghampirimu, bershowerlah.”
Atau juga biasanya suka ma cerita-cerita galau dan membayangkan kalau dirinya yang ada di cerita itu. ceritanya itu biasanya ada adegan kecelakaan, atau tiba-tiba si tokoh sakit parah, atau bahkan mati, intinya biar dapet perhatian dari banyak orang. Huhuhu sedihnye!!! 
Orang galau itu emang pengin diperhatiin, dia mencoba mendapatkan perhatian dari orang lain, atau dari berbagai hal misalnya dari lagu, “Wah, ini lagu ngertiin perasaanku” atau dari novel, “Novel ini seperti kisah hidupku”

“Aku lagi Pengin sendiri”
Orang galau itu biasanya lebih pengin sendiri, menikmati kegalauannya dengan penuh rasa kegalauan. Menikmati setiap hal, jika ada yang tau dia menangis pun dia gak malu, dia bebas berkespresi. Merasa sendiri, seakan-akan orang lain itu sudah tidak memahami atau tidak peduli dengan dirinya lagi. Seakan-akan dia sudah tidak percaya dengan orang lain.
Sama seperti poconggg, aku suka adegan ini ketika si poconggg menyendiri di halte kendaraan golf tapi yang dateng malah angkot. Dan tiba-tiba muncul pocongwati (pocong perempuan), “Hai” sapa poconggg, “Hai!” bales pocongwati dengan jutek. “Dimas” “Dhea” dengan jutek. “Lagi galau ya? Ditinggal ama pacar” si pocongwati ngangguk. Terus si pocong ngasih perumpamaan bahwa cinta itu kaya angkot, kadang kita harus ngantri atau lari-lari ngejar buat dapet angkot, giliran sudah dapet kadang kita ngerasa salah angkot, atau kadang angkot yang kita naiki itu juga dinaiki satu, dua, tiga, atau empat orang lain.hehe terbaik ^^b
Ya pada episode di mana orang galau itu pengin sendiri, berharap akan datang keajaiban atau insight yang akan merubah cara pandangnya. “Iya juga ya, burung itu hewan yang bebas bisa terbang ke mana saja, tapi kalau sudah dikurung, dia hanya bisa terbang sebatas kurungannya aja, nah kita manusia yang gak dikurung malah buat kurungan sendiri dalam pikiran kita” kaya gitu kaya gitu lah.
Kadang ketemu orang yang seakan-akan nih bisa memahami kita, “Ge sedih ya??” “Iya” nah udah deh merasa ada yang memahami mulai cerita banyak hal pada orang itu. kaya si Sheila yang kehilangan Dimas tiba-tiba dingertiin ma Adit. Ya rasanya gimana gitu.

“Kenape lo? Muka loe dilipet?”
  Ini berkaitan dengan bahasa tubuh orang yang galau. Orang galau itu misalnya kaya poconggg, jalannya perlahan (seakan sangat berat untuk melangkah, kakinya ada batunya kali ya?) mukanya nunduk, matanya sayu atau kaya orang sedih (berusaha mengurangi berbagai informasi dari luar), bahunya mengendur, biasanya mengehal nafas. Meskipun gak semuanya gitu, ada ekpresi-ekspresi kecil yang meskipun terlihat si orang merasa senang tetapi sedang menunjukan kegalauan, seperti senyum palsu, dia senyum kemudian tidak lama kemudian senyu itu hilang atau biasanya menunjukan ketidak nyamanan seperti berusaha menghindar dari orang lain. Mungkin terkait “aku lagi pengin sendiri, jangan ganggu aku”
Kadang sering memandang kelangit, ada dua hal mungkin itu metaforanya untuk bebas dari kegalauannya atau secara non verb orang yang mendongakan kepalanya ke atas itu adalah orang yang berusaha untuk menghilangkan kesedihannya, karena orang lebih mudah sedih kalau menunduk.

“Aku kangen nih”
Tiba-tiba aja kangen sama masa lalu, masa indah di mana suatu masa yang lebih baik daripada masa sekarang. “Dulu tu gak kaya gini, dulu tu..” nah udah kalo udah mulai muncul kaya gitu. Liat aja si Poconggg, “Dulu aku ma Sheila suka duduk-duduk di taman” atau pas ngebayangin masa-masa SMA dulu ketika pocong lainnya malah main bola, jelas aja gool wong pocong tangannya dislempitin? Ya pada episode ini juga masa di mana dia ingin sendiri, seakan-akan hilang dari masa sekarng yang dia anggap sangat menyebalkan. Betull???hehe

Perasaannya cepet berubah
Iya karena sensitive sehingga perasaanya cepet berubah, tiba-tiba seneng, kadang bisa jadi bijak, tiba-tiba sedih lagi. Kaya Mas poconggg yang ge pengin sendirian dan dateng pocongwati, kemudian tiba-tiba aja jadi bijak sampe nyuruh jangan bunuh diri (eh malah dia mau bunuh diri juga), tapi setelah inget angkot dia sedih lagi. Atao setelah diajak dugem malam jum’at ma Kunti, si poconggg seneng tapi abis itu keinget lagi sedih lagi. Kaya gitu kaya gitu deh cepet berubah moodnya. Gara-gara suruh wawancara lagi tiba-tiba nih aku jadi bad mood, liat temen sidang langsung galau luar biasa.hedeeeeh tak patut tak patut.

Aku gagal
Mungkin ini perasaan yang paling pool adalah perasaan telah gagal, seperti tidak ada harapan lagi. “Ngapain lu Chonggg?” Tanya kunti ketika poconggg berdiri di pinggir sebuah atap, “Mau bunuh diri” “Mana ada pocong bunuh diri PA” ya paling galaunya sukses mungkin yang bunuh dirinya berhasil kali ye. “Hikz aku telah gagal, mulai sekarang aku akan meninggalkan semua ini” ya semacam pikiranku ketika skripsi gak selesai-selesai penginnya DO.hehehe ^^v

Ya itu sekilas tentang cirri-ciri orang galau yang aku lihat dalam film poconggg juga pocong. Ada dua macam usaha yang bisa dilakukan ketika galau dateng, usaha secara emosional atau usaha buat mnyelesaikan masalah itu.  usaha emosional tu misalnya dengan pergi ke mana, menyesatkan diri, atau apa gitu, intinya usaha itu bisa menjadi memperburuk keadaan atau bisa juga membantu mengubah cara pandang terhadap masalah.
Yang kedua usaha untuk menyelesaikan masalah, lah ini adalah usaha aktif untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang baik, jika skripsi gak kelar ya dikerjain dan dikelarin lah (hehehe mengingatkan diri sendiri), kalo ada masalah dengan orang lain coba selesaikan baik-baik. Mungkin kita bisa lari dari masalah, tapi kita perlu kembali dan mnyelesaikan masalah itu. Anyway, inget kata Om Chrisye dalam lagunya, “Galau Pasti Berlalu.”
Terakhir banyak mendekatkan diri pada Tuhan, karena kegaluan itu mungkin biar kita nih deket ma Tuhan. Udah berapa lama kita lupa ma Tuhan? Gak peduli masalah akan jadi kayak apa, galau mau jadi gimana? Tapi kalo semakin banyak nih deket ma Tuhan, tetep kan dapet pahala. Ce ileee daripada gak ngapa-ngapain dan gak dapet apa-apa.
Aku sedang berpikir bahwa untuk menjadi bahagia itu kita yang harus menjadi penyebab, bahagia itu bukan berasal dari orang lain, harta, kesenangan, atau hal lain yang berada di luar diri kita. Tapi jauh dari itu ada sesuatu dari kita yang menyebabkan kebahagiaan itu sendiri, yaitu kedekatan kita ma Yang Punya Kebahagiaan.cip!!

Nice ^^b Salam Galoo Uoooo!!!
Selese nulis 9.18 WIB
@fayssmile

Jumat, 01 Juni 2012

Zona Galau



1 Juni 2012, 22.15 WIB
Masih di depan laptopku dan aku belum menyentuh skripsiku, belum ngeh aja buat ngerjain skripsi lagi. Aku udah ingkar janji ma Alloh, ayah, ma mamah kalo mau sidang Juni 2012 ini. But akhirnya aku memutuskan buat surat ‘teror’ ke ayah ma mamah hasilnya aku jadi gak enak sendiri. Mamah menawarkan, “Beli skripsi aja pa?” “Heh??? Moh” ayahku, “coba temuin ibu ini (naman dosen psikologi yang dikenalnya dari pegawai bank) barangkali bisa bantu.” “Ah, gak usah segitunya.” Paling tidak aku harus menjelaskan yang namanya proses skripsi itu apa? Karena ayahku masih punya persepsi kuliah kaya sekolah, lulus satu lulus semua, kalo aku belum lulus berarti ‘kuwuk’ atau istilah lainnya semacam gak naik kelas. Hedeeeh. Bagaimanapun juga ortuku cuman menempuh pendidikan setingkat SMA, jadi butuh dipahamkan lebih.
Hari ini moodku buat ngerjain skripsi malah tambah menjadi gak-gak. Langit terasa mendung bagiku hari ini (emang mendung sih langitnya,hehe). Sampe lantai tiga ketemu pak Akung, “Kamu mau sidang juga Sal?” Aku bales dengan cengiran aja. Sidangnya Pur aja aku kaya, “kamu tu kaya orang lagi nungguin istrinya melahirkan sih???” kata Winta, padahal kakiku tuh capek bukan main terus berdiri, mau lesehan juga males akhirnya jadilah bolak-balik gak jelas. Ma mengobservasi gak jelas para penyidangnya Pur, “Oh yang nyidang juga manusia kok bukan alien.”
Abis itu aku milih kabur aja, takut sindrom sidangku kumat. Nemenin Ediwan pergi-pergi lagi, beli parfume di kawasan Kauman bawah sekalian sholat jum’at. “Sal” sambil nunjukin sms dari Purty, lupa aku isinya apa? Intinya ngajakin makan-makan. Kali aja aku dsms, aku buka hapeku, “Aku gak dapet sms ik” Hukz… “kamu aja ah yang bales, bilang aja kita ge di bawah, eh Ed masjidnya kok ada karpet merahnya ya, khotibnya entar jalan lewat situ ya?” kataku mengalihkan pembicaraan.hehe ^^v
Abis jum’atan juga dapet sms dari Amin, “Nemenin aq Bos” “Nemenin apa?” “Purwanti” “Kenapa Purwanti?” “makan-makan nda” “aku gak dapet smsnya ik. Kamu aja gak papa, ngajak Karim, jangan Zaldhi ya entar Kalap.” (hikz, aku dilupakan)
Abis dari Ediwan, sekitar jam setengah tigaan aku  balik aja ke atas, udah lama gak nyewa film (yang gak tau aku mau tonton kapan, dan diputer di CD roomnya sapa karena lapyku gak bisa muter CD) akhirnya aku nyewa film-film kartun. Uh, ke maskam ah mungkin bisa tenang sekalian ashar. Entah padahal gak ada player atau sound apa, lagu Home yang dinyanyikan Michael Bubble terus kebayang di pikiranku. Aku harus pulang kah? Tapi pulang yang seperti apa? Sampai habis ashar aku masih terus bergalau ria dengan lagu HOME. Apa arti pulang sebenarnya? Apa arti rumah?
Pulang ke kost ternyata lampu kamarku mati, hedeeeh sampai lampu kamarku juga bersimpati dengan kegalauanku. Ya udah gelap-gelapan. Aku buka hape karetanku,ada sms masuk dari Purwanti yang ngajakin makan-makan,hehe hapeku aku tinggal, ternyata aku diajakin juga,haha...tapi udah kelewat tadi. And gak ada hujan dan gak ada angin tiba-tiba kangen ma Amin, secara udah tiga hari ini aku nemenin Edicong terus, eh empat hari ding. Akhirnya main ke Amin dan iseng mengobrak-abrik singgah sana Amin menemukan majalah AHA tahun kemarin, buka-buka eh bagian akhir ada cerpen dari Aftina, “Ya Allah, aku ingin lulus…” langsung tu majalah aku tutup, “Ah, apaan sih??”
Maghrib pun tiba dan saatnya kerjaan sampinganku hampir seminggu ini, yaitu jadi mata-mata maling helm di masjid. Udah lima hari ini tapi si maling gak pernah ketangkep juga, aku berpikir mungkin tinggal siapa yang akan bertahan lama, kami atau malingnya??? “Ikut ke pak Akung  Bos?” ajak Amin, “Gak ah, salam aja ya” hedeeh tumben-tumbenan aku gak mau ikut ke rumah dosen. Malah diskusi ngalor ngidul ma Mas Mul, seperti biasa jadi pendengar setia.
Butuh tidur kali ya, coz tiga hari ini tidurnya kemaleman terus. Ngerjain skripsi juga nggak. Mungkin aku butuh dipaksa kali ya buat ngerjain skripsi, tapi tawaran dari mamah aku tolak, “Apa mamah tak nungguin di situ???” “Eh??? Moh!!!” hadeeeh.  Kadang lucu aja sih kalo liat kegalauanku selama skripsi, tapi mau keluar dari zona galau juga terasa butuh perjuangan. Mau pergi ke mana lagi? Besok sabtu aku kayaknya istirahat dulu aja deh. Lebih tertarik kerjain skripsinya orang lain daripada skripsinya sendiri. Kaya kebiasaanku kalo makan sambel, padahal udah punya sambel sendiri di piringku tapi masi juga ambil sambel lain. Apakah skripsi itu kaya sambel?
23.02 WIB sambil dengerin lagunya Gareth Gates (katanya ge kebayang Home-Michael Buble, gak nyambung kayaknya).