Warning!!!!
Tulisan ini, tulisanku ketika lagi Melow... hikz...jadi ya gitu deh...
Tulisan ini, tulisanku ketika lagi Melow... hikz...jadi ya gitu deh...
11.30 WIB – Stasiun Tegal
Aku masih terduduk di salah satu bangku
di depan antrian loket. Menunggu dapat dizinkan masuk ke peron sekaligus untuk
sholat dzuhur. Tanganku mulai mencari buku kecilku di dalam tas gantungku. Buku
kecil yang selalu menemaniku kapanpun aku ingin bercerita. Goresan tinta mulai
aku goreskan di kertas dalam buku itu. Menulis memoriku jauh ke belakang.
____________
Hampir enam tahun sudah aku berdiri di
sini, berjuang di kota Semarang ini dengan segala mimpi, segala cerita, dengan
segala sesuatunya yang telah membuatku terbuka melihat dunia. Hampir enam tahun
sudah aku berada di kota ini, di kampus ini. Kampus yang dahulu kau do’akan
untukku. Aku masih berjuang dengan tugas akhirku yang aku masih terus berjuang
meskipun ketika satu per satu kawan-kawanku telah pergi memulai hidup baru
mereka sebagai sarjana, aku masih berjuang dengan segala keluh kesah manusia
yang bercerita kepadaku meskipun aku sebenarnya pun butuh untuk mengeluh, dan
masih berjuang dengan diriku sendiri yang berusaha antara melawan dan berdamai.
Kau yang mengajariku tentang kesabaran,
bahwa kesabaran bukanlah menyerah, bahwa kesabaran bukanlah keterjatuhan,
tetapi tetap tegar berdiri meskipun banyak yang berusaha menjatuhkanku. Hingga
kini aku masih berdiri tegar meskipun di tengah banyak orang yang bersandar
padaku. Tetaplah tersenyum meskipun banyak orang yang mentertawakanku. Kau yang
mengajariku.
Hampir enam tahun sudah dan air mataku
masih sering menetes ketika mengenangmu. Kau yang selalu menengkan aku di
tengah kegelisahan hidup yang aku rasakan, di sela kekacauan pikiranku, dan di
antara manusia dengan topengnya bersama kepalsuannya. Aku belum menemukan sosok
sepertimu hingga kini. Aku merindukanmu yang selalu berbicara dengan bahasa-Nya.
Aku
belum bisa menemukan sosok sepertimu. Aku hanya bertemu dengan orang yang
mendengarkan tetapi tak pernah benar-benar mendengarkan, orang yang melihat
tetapi tak pernah benar-benar melihat, orang yang berbicara tetapi tak pernah
benar-benar berbicara, orang yang memahami tetapi tak pernah benar-benar
memahami, orang yang mengerti tetapi tak pernah benar-benar mengerti, orang yang merasakan tetapi tak pernah
benar-benar merasakan. Salahkah aku jika aku mengatakan bahwa semua itu hanya
ilusi? Bahkan dalam ketidaksempurnaanku sendiri. Aku tak mengerti ke mana lagi
aku akan mencari sosok sepertimu?
Seandainya kau masih di sini, aku ingin
bercerita banyak tentang hari-hari yang aku jalani saat ini. Seperti ketika
bercerita tentang hari-hari yang aku jalani bersama segala sesuatunya. Ketika
kau duduk di samping ranjangku ketika aku terbaring sakit. Ketika kita duduk
bersama ketika makan malam.
Kau masih ingat? Ketika aku masih SD,
ketika suatu hari aku pulang sekolah lebih awal dan aku tak menjumpai suaramu menjawab
dari dalam rumah membalas ketukan pintu dan teriakan. “Mbah … Mbah … Mbah …”
Aku tetap tidak mendengar suaramu dari dalam rumah. Aku berlari ke belakang
dekat dengan kamarmu dan kembali berteriak “Mbah … Mbah … Mbah …” sambil
mengetuk pintu lebih keras.
Aku pun cemas bukan main memikirkan
segala kemungkinan terburuk yang terjadi, mengingat usia senjamu. Jujur aku
cemas, aku khawatir aku tak ingin kehilangmu saat itu. Aku berlari lagi ke
pintu depan rumah, dan masih berusaha keras memastikanmu ada di dalam rumah.
Teriakanku pun semakin keras, “MBAAAH … MBAAAH … MBAAAH…” aku tak kunjung
mendengar suara darimu.
Aku mulai sedih memikirkan segala
kemungkinan terburuk yang terjadi. Di usiaku yang masih sangat anak-anak aku
mulai khawatir jika nanti di hari-hari ke depan, aku hanya menjumpai rumah
kosong ketika aku pulang sekolah. Karena ayah bekerja di luar kota dan hanya
seminggu sekali pulang ke rumah, sedangkan ibu pun bekerja di luar kota juga
dan pulang ketika menjelang sore. Aku terduduk di depan pintu rumah depan
sambil memikirkan segala kemungkinan. Tetapi, betapa bahagianya aku ketika
melihat sosokmu memanggil, “Ndol” dari luar pagar rumah sehingga aku pun
langsung berlari menuju ke arahmu dan segera memelukmu sambil menangis keras,
“Eh, udah pulang ya? Iya, maaf Mbah tadi lagi di warung, nggak tau kamu sudah
pulang, cup cup cup yuk masuk yuk.”
Aku lega bukan main bahwa kau masih ada,
dan kau masih di sini bersamaku saat itu. hilanglah segala kekhawatiranku,
kegelisanhku, kecemasanku, karena kau masih ada. Kau yang selalu menemaniku
ketika aku masih sekolah di TK, kau menjagaku, ketika aku beranjak SD pun kau masih
mengantarku hingga aku pun memiliki keberanian untuk berangkat sendiri ke
sekolah.
Aku hanya lelah mencari, mencari, dan
mencari sosok sepertimu. Banyak orang menawarkan diri untuk membuka hati,
tetapi aku merasa bahwa aku tidak bisa nyaman dengannya. Andai kau masih hidup
saat ini, aku ingin bercerita banyak tentang hidup, tentang ayah dan mamah yang
rajin mengurus ayam-ayamnya, tentang teman-temanku dengan segala ceritanya yang
aku dengarkan, tentang kuliahku yang belum menemui ujungnya, tentang cinta yang
kau wasiatkan agar jangan banyak memberi harapan, dan tentang diriku yang masih
berusaha dengan segala ketidaksempurnaanku.
Kadang aku ingin menyerah di tengah
semua pergolakan batin yang tidak kunjung berdamai. Tetapi, aku selalu
mengenang langkahmu yang goyah untuk menghadapi dunia, aku selalu mengenang
do’amu yang terakhir kau sebutkan untukku, “Moga, putu-putuku dadi wong
berhasil kabeh, koen ya bisa diterima
sing neng koen pengini, saben bengi tak dongakna (Semoga, cucu-cucuku jadi orang berhasil
semua, kamu juga bisa diterima di yang kamu inginkan, setiap malam aku do’akan).”
Entah mengapa, aku merasa saat itu, adalah pesan terakhir untukku.
Kau selalu berusaha menergarkan aku di
tengah kegalauan hidup yang aku jalani, seperti ketika aku harus berjuang
sendiri dengan semua problematika hidupku yang rumit bersama ayah dan mamah.
Hingga akhirnya berujung di sebuah kamar rumah sakit yang tenang. Aku baru bisa
tenang di ruangan itu, berbaring dengan kenyamanan. Meskipun saat itu gambaran
kematian sangat jelas di hadapanku. Jujur aku takut, ketika semalaman aku tidak
bisa tidur memikirkan semua yang telah dan akan terjadi. “Istighfar Ndol!” katamu mengingatkanku yang belum juga memejamkan
mata. Sehingga ketika kau tidak
mendapati seseorang untuk berbicara, berbicaralah dengan hatimu. “Dah
sekarang kau jalani hidup lebih senang aja, jangan kamu terlalu memikirkan
banyak hal.”
Mungkin sejak saat itu aku mulai tidak
tertarik untuk meneruskan cita-citaku untuk kuliah ke kedokteran, tidak
berminat dengan prestice sebuah
tempat pendidikan, tidak berminat juga dengan jurusan yang memiliki peluang
kerja lebih meyakinkan. Aku tertarik dengan cara manusia berpikir, aku ingin
membaca cerita di balik apa yang dipikirkan manusia.
Di tengah semua problematika, kau juga
meyakinkan aku bahwa masih ada orang-orang yang bisa aku percaya. Masih ada
teman-temanku yang masih berusaha menghiburku, meskipun mereka mungkin tidak
akan pernah mengetahui seberapa beratnya bebanku. Tetapi, mungkin kau bisa
membantu beban mereka, agar kau bisa melihat bahwa masalahku tidak lebih berat
dari masalah mereka.
5 Agustus 2006, seharusnya menjadi hari
yang membahagiakan untukku karena aku diterima di jurusan yang aku inginkan,
seperti yang kau do’akan untukku. Tetapi, aku merasa kau tidak adil, kau pergi
meninggalkanku untuk selamanya. Meskipun akhirnya aku sadari bahwa Allah
mungkin merindukan orang sepertimu. “Ya Allah, Ndol kok ya mbah rak sempet menangi (Ya Allah, Ndol kok ya Mbah
tidak sempet mengalami)” kata mamah memelukku sambil menangis di tengah
kesenduan pagi itu, air mataku sulit menetes hari itu.
Setiap orang berbicara apa itu cinta,
tetapi bagiku Cinta tidak lebih dari
definisi yang tidak tersimpulkan. Dan setiap orang juga berbicara apa itu
hidup, tetapi bagiku hidup tidak lebih
dari sebuah proses menunggu untuk kehidupan selanjutnya.
Aku rasanya ingin berteriak, sekeras aku
dulu bernanyi di atas panggung. Tapi, melihat masa sekarang ketika hampir semua
orang ingin berteriak, yang terdengar di telingaku hanya tangisan tanpa air
mata. Mereka ingin semua orang tau bahwa mereka menginginkan sesuatu tetapi di
mataku yang terlihat hanyalah mereka sedang berusaha untuk menghabiskan energi
mereka.
Kau masih ingat ketika aku menangis
keras sewaktu kecil? Hanya untuk meminta mainan baru yang aku inginkan. Aku
berteriak, menangis, bahkan melempar, memblokir pintu setelah aku pikir
ternyata saat ini orang-orang pun melakukannya ketika dewasa. Mereka berteriak,
bahkan menangis, melampar, bahkan juga memblokir jalan untuk menenutut sesuatu.
Aku pikir apa bedanya dengan perilaku seorang anak kecil?
Aku kemudian berpikir ternyata manusia
di negeri ini belum sepenuhnya dewasa, meskipun usia mereka sudah beranjak tua
dan secara teoritis telah dinamakan manusia dewasa seperti di mata kuliah
psikologi perkembangan yang aku pelajari di kampus. Aku pun menyadari bahwa aku
kini telah beranjak dewasa dalam usiaku. Aku telah meninggalkan masa-masa
anak-anak dan masa remajaku bersamamu. Kini aku melewati masa-masa ini
sendirian tanpamu. Aku berusaha tegar bertahan dengan pijakanku yang kadang pun
rapuh.
Tiga hari setelah pemakamanmu aku
memutuskan untuk berangkat memulai mimpiku sendirian tanpa ditemani ibu seperti
biasanya. Pertama kalinya aku pergi ke Semarang sendirian tanpa ditemani
siapapun. Hanya berbekal pakaian seadanya untuk beberapa hari ke depan.
Kereta api kaligung bisnis mulai merepat
di stasiun Tegal tetapi waktu untuk sholat dzuhur sudah dimulai. Aku selalu
mengingat baik-baik kau selalu mengingatkanku untuk sholat tepat pada waktunya.
Karena semakin banyak waktu yang tertinggal, kau bilang dosaku akan semakin
bertambah. Selalu berusaha mengingatkan
aku ketika tersesat, bahkan ketika aku pun tidak sadar aku tersesat.
Air wudhu yang aku ambil siang itu
sebelum keberangkatanku terasa begitu segar membasahi setiap kulitku. Setiap
takbir yang aku kumandangkan di sholatku siang itu telah memantapkan
keinginanku untuk melanjutkan mimpiku. Melanjutkan do’a yang telah kau
penjatkan untukku. Melanjutkan tugas Allah SWT untukku menimba ilmu-Nya.
Semuanya terasa dalam aku rasakan siang itu di setiap gerakan sholatku.
Terbayang sosokmu yang kini telah tiada. Terbayang do’a dan cinta yang telah kau
berikan untukku dan cucu-cucumu yang lain. Tapi, kini aku harus pergi
meninggalkan semua kenangan di sini untuk membawa mimpiku jauh di sana.
Sudah hampir enam tahun sudah dan kereta
Kaligung kini semakin berganti bentuk, tidak seramai dulu. Aku menyadari bahwa
semuanya kini telah berubah. Aku tak perlu berdesak-desakan seperti dulu.
Hampir enam tahun sudah kini aku berjuang
dengan segala kepayahan yang kadang aku
rasakan tidak kunjung menemukan harapannya. Tetapi, di tengah kepayahanku itu,
aku mencoba menemukan lagi semua cinta, semua do’a, semua anugerah yang ada di
wajah-wajah orang-orang yang telah Allah izinkan untuk aku temui, aku kenal,
hingga aku cintai. Ada bahasa-Nya yang aku dengar dari mereka, ada cinta-Nya
yang aku rasakan dari mereka, dan ada anugerah-Nya yang aku lihat dari mereka.
Meskipun tak juga sempurna seperti dirimu bagiku, mereka akan selalu menjadi
warna dalam hidupku.
Kau
benar selalu ada alasan untuk membuatku tetap percaya pada orang-orang yang aku
cintai meskipun orang-orang itu mungkin mengecewakanku. Berusaha untuk
mengambil jarak dan ketika sesuatu yang buruk terjadi, aku telah siap. Tidak
lebih juga bahwa aku mungkin lebih sering mengecewakan mereka dengan segala
egoisku, dengan segala kesombonganku, dengan segala sesuatunya yang mungkin
hati-ku terlalu keras untuk menyadarinya.
Aku masih terus berjuang menggapai semua
mimpiku, meskipun kadang aku terjatuh, terbangun, terjatuh lagi, bangun lagi
dan seperti itu seterusnya. Seperti dulu kau dan ibu yang mengajariku berdiri
dan berjalan. Aku belum juga menemukan sosok untukku bercerita seperti dirimu.
Yang mehamahami ceritaku meskipun aku tak berucap, berusaha menguatkan aku
meskipun aku tidak tau lagi bagaimana untuk bangkit.
Dunia akan terus berputar dan waktu akan
terus berubah, Semuanya telah berubah. Semua cerita bukan lagi seperti cerita
yang dahulu. Seberapa keras aku mencari, aku tak akan pernah menemukan sosok
sepertimu lagi dalam hidupku. Tetapi, dengan cinta yang kau ajarkan padaku, aku
berusaha untuk percaya pada mereka yang mewarnai hidupku. Sebenarnya itu bukan
ilusi, hanya saja aku peru melihatnya dari sebuah kenyataan yang pasti bahwa
semuanya akan indah pada waktunya.
Sosok yang sama sepertimu memang tidak
akan temukan. Tetapi, cintamu adalah cinta Allah, yang aku yakini ada di setiap
manusia dan orang-orang yang mewarnai hidupku. Ada cinta di setiap orang. Aku
seharusnya bersyukur bahwa tidak semua orang mengenal kakek maupun neneknya.
Beberapa juga hampir tidak mengenal ayah dan ibunya. Aku beruntung mengenal itu
semua meskipun di tengah ketidak beraturan yang aku alami. Tapi, aku belajar
banyak hal untuk mencintai mereka apa adanya.
Aku pernah ke Solo, dan aku teringat
cintamu ketika begitu jauh malangkah hanya untuk bertemu kakakmu yang sedang
terbaring sakit. Meskipun langkahmu sudah tidak setegar dulu. Meskipun akhirnya
justru kau yang meninggal duluan. Maka
aku pun percaya bahwa hidup itu untuk
memberi, tidak usah berharap seberapa banyak apa yang akan diterima. Teruslah
memberi meskipun sebenarnya kau yang lebih butuh untuk diberi.
Terima kasih Mbah, untuk setiap cinta
yang kau berikan kepadaku. Untuk setiap bahasa-Nya yang berusaha kau fahamkan
kepada diriku. Untuk setiap do’a yang kau panjatkan untukku. Izinkan aku untuk
melangkah lebih jauh lagi menggapai setiap mimpiku, mimpi kita bersama.
Meskipun aku tak tau di mana dan kapan aku akan terjatuh lagi, dan berusaha
untuk bangkit sendiri tanpamu. Sepuluh ribu
langkah ataupun lebih yang telah kau tempuh semoga aku bisa tempuh sepertimu.
Aku terus mempertanyakan ke mana jalan
hidupku sebenarnya? Ketika melihat banyak orang sudah mulai menemukan jalan
hidupnya, aku masih mencari ke mana jalan hidupku? Tetapi, cita-citaku hanya
satu, ingin melihat dunia ini dengan mataku sendiri. Mungkin suatu saat aku
tidak akan ada di sini lagi mengunjungi makammu seperti biasa ketika aku
pulang.
Kereta Kaligungku sudah mulai siap
untukku membawaku berangkat lagi ke Semarang. Sudah begitu lama aku tidak
melakukan perjalanan dengan kereta api ini. Aku tau mungkin suatu saat ketika
aku pulang lagi dengan kereta api ini, aku sudah bisa menyelesaikan apa yang
sudah aku mulai.
25 Juni 2012 sebuah tulisan kecil oleh Imam Faisal Hamzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar