Minggu, 24 Juni 2012

Selaksa Tak Berpendar



Warning!!!!
Tulisan ini, tulisanku ketika lagi Melow... hikz...jadi ya gitu deh...

11.30 WIB – Stasiun Tegal
Aku masih terduduk di salah satu bangku di depan antrian loket. Menunggu dapat dizinkan masuk ke peron sekaligus untuk sholat dzuhur. Tanganku mulai mencari buku kecilku di dalam tas gantungku. Buku kecil yang selalu menemaniku kapanpun aku ingin bercerita. Goresan tinta mulai aku goreskan di kertas dalam buku itu. Menulis memoriku jauh ke belakang.
____________
Hampir enam tahun sudah aku berdiri di sini, berjuang di kota Semarang ini dengan segala mimpi, segala cerita, dengan segala sesuatunya yang telah membuatku terbuka melihat dunia. Hampir enam tahun sudah aku berada di kota ini, di kampus ini. Kampus yang dahulu kau do’akan untukku. Aku masih berjuang dengan tugas akhirku yang aku masih terus berjuang meskipun ketika satu per satu kawan-kawanku telah pergi memulai hidup baru mereka sebagai sarjana, aku masih berjuang dengan segala keluh kesah manusia yang bercerita kepadaku meskipun aku sebenarnya pun butuh untuk mengeluh, dan masih berjuang dengan diriku sendiri yang berusaha antara melawan dan berdamai.
Kau yang mengajariku tentang kesabaran, bahwa kesabaran bukanlah menyerah, bahwa kesabaran bukanlah keterjatuhan, tetapi tetap tegar berdiri meskipun banyak yang berusaha menjatuhkanku. Hingga kini aku masih berdiri tegar meskipun di tengah banyak orang yang bersandar padaku. Tetaplah tersenyum meskipun banyak orang yang mentertawakanku. Kau yang mengajariku.
Hampir enam tahun sudah dan air mataku masih sering menetes ketika mengenangmu. Kau yang selalu menengkan aku di tengah kegelisahan hidup yang aku rasakan, di sela kekacauan pikiranku, dan di antara manusia dengan topengnya bersama kepalsuannya. Aku belum menemukan sosok sepertimu hingga kini. Aku merindukanmu yang selalu berbicara dengan bahasa-Nya.
Aku belum bisa menemukan sosok sepertimu. Aku hanya bertemu dengan orang yang mendengarkan tetapi tak pernah benar-benar mendengarkan, orang yang melihat tetapi tak pernah benar-benar melihat, orang yang berbicara tetapi tak pernah benar-benar berbicara, orang yang memahami tetapi tak pernah benar-benar memahami, orang yang mengerti tetapi tak pernah benar-benar mengerti,  orang yang merasakan tetapi tak pernah benar-benar merasakan. Salahkah aku jika aku mengatakan bahwa semua itu hanya ilusi? Bahkan dalam ketidaksempurnaanku sendiri. Aku tak mengerti ke mana lagi aku akan mencari sosok sepertimu?
Seandainya kau masih di sini, aku ingin bercerita banyak tentang hari-hari yang aku jalani saat ini. Seperti ketika bercerita tentang hari-hari yang aku jalani bersama segala sesuatunya. Ketika kau duduk di samping ranjangku ketika aku terbaring sakit. Ketika kita duduk bersama ketika makan malam.
Kau masih ingat? Ketika aku masih SD, ketika suatu hari aku pulang sekolah lebih awal dan aku tak menjumpai suaramu menjawab dari dalam rumah membalas ketukan pintu dan teriakan. “Mbah … Mbah … Mbah …” Aku tetap tidak mendengar suaramu dari dalam rumah. Aku berlari ke belakang dekat dengan kamarmu dan kembali berteriak “Mbah … Mbah … Mbah …” sambil mengetuk pintu lebih keras.
Aku pun cemas bukan main memikirkan segala kemungkinan terburuk yang terjadi, mengingat usia senjamu. Jujur aku cemas, aku khawatir aku tak ingin kehilangmu saat itu. Aku berlari lagi ke pintu depan rumah, dan masih berusaha keras memastikanmu ada di dalam rumah. Teriakanku pun semakin keras, “MBAAAH … MBAAAH … MBAAAH…” aku tak kunjung mendengar suara darimu.
Aku mulai sedih memikirkan segala kemungkinan terburuk yang terjadi. Di usiaku yang masih sangat anak-anak aku mulai khawatir jika nanti di hari-hari ke depan, aku hanya menjumpai rumah kosong ketika aku pulang sekolah. Karena ayah bekerja di luar kota dan hanya seminggu sekali pulang ke rumah, sedangkan ibu pun bekerja di luar kota juga dan pulang ketika menjelang sore. Aku terduduk di depan pintu rumah depan sambil memikirkan segala kemungkinan. Tetapi, betapa bahagianya aku ketika melihat sosokmu memanggil, “Ndol” dari luar pagar rumah sehingga aku pun langsung berlari menuju ke arahmu dan segera memelukmu sambil menangis keras, “Eh, udah pulang ya? Iya, maaf Mbah tadi lagi di warung, nggak tau kamu sudah pulang, cup cup cup yuk masuk yuk.”
Aku lega bukan main bahwa kau masih ada, dan kau masih di sini bersamaku saat itu. hilanglah segala kekhawatiranku, kegelisanhku, kecemasanku, karena kau masih ada. Kau yang selalu menemaniku ketika aku masih sekolah di TK, kau menjagaku, ketika aku beranjak SD pun kau masih mengantarku hingga aku pun memiliki keberanian untuk berangkat sendiri ke sekolah.
Aku hanya lelah mencari, mencari, dan mencari sosok sepertimu. Banyak orang menawarkan diri untuk membuka hati, tetapi aku merasa bahwa aku tidak bisa nyaman dengannya. Andai kau masih hidup saat ini, aku ingin bercerita banyak tentang hidup, tentang ayah dan mamah yang rajin mengurus ayam-ayamnya, tentang teman-temanku dengan segala ceritanya yang aku dengarkan, tentang kuliahku yang belum menemui ujungnya, tentang cinta yang kau wasiatkan agar jangan banyak memberi harapan, dan tentang diriku yang masih berusaha dengan segala ketidaksempurnaanku.
Kadang aku ingin menyerah di tengah semua pergolakan batin yang tidak kunjung berdamai. Tetapi, aku selalu mengenang langkahmu yang goyah untuk menghadapi dunia, aku selalu mengenang do’amu yang terakhir kau sebutkan untukku, “Moga, putu-putuku dadi wong berhasil kabeh, koen ya bisa diterima sing neng koen pengini, saben bengi tak dongakna  (Semoga, cucu-cucuku jadi orang berhasil semua, kamu juga bisa diterima di yang kamu inginkan, setiap malam aku do’akan).” Entah mengapa, aku merasa saat itu, adalah pesan terakhir untukku.
Kau selalu berusaha menergarkan aku di tengah kegalauan hidup yang aku jalani, seperti ketika aku harus berjuang sendiri dengan semua problematika hidupku yang rumit bersama ayah dan mamah. Hingga akhirnya berujung di sebuah kamar rumah sakit yang tenang. Aku baru bisa tenang di ruangan itu, berbaring dengan kenyamanan. Meskipun saat itu gambaran kematian sangat jelas di hadapanku. Jujur aku takut, ketika semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan semua yang telah dan akan terjadi. “Istighfar Ndol!” katamu mengingatkanku yang belum juga memejamkan mata. Sehingga ketika kau tidak mendapati seseorang untuk berbicara, berbicaralah dengan hatimu. “Dah sekarang kau jalani hidup lebih senang aja, jangan kamu terlalu memikirkan banyak hal.”
Mungkin sejak saat itu aku mulai tidak tertarik untuk meneruskan cita-citaku untuk kuliah ke kedokteran, tidak berminat dengan prestice sebuah tempat pendidikan, tidak berminat juga dengan jurusan yang memiliki peluang kerja lebih meyakinkan. Aku tertarik dengan cara manusia berpikir, aku ingin membaca cerita di balik apa yang dipikirkan manusia.
Di tengah semua problematika, kau juga meyakinkan aku bahwa masih ada orang-orang yang bisa aku percaya. Masih ada teman-temanku yang masih berusaha menghiburku, meskipun mereka mungkin tidak akan pernah mengetahui seberapa beratnya bebanku. Tetapi, mungkin kau bisa membantu beban mereka, agar kau bisa melihat bahwa masalahku tidak lebih berat dari masalah mereka.
5 Agustus 2006, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan untukku karena aku diterima di jurusan yang aku inginkan, seperti yang kau do’akan untukku. Tetapi, aku merasa kau tidak adil, kau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Meskipun akhirnya aku sadari bahwa Allah mungkin merindukan orang sepertimu. “Ya Allah, Ndol kok ya mbah rak sempet menangi (Ya Allah, Ndol kok ya Mbah tidak sempet mengalami)” kata mamah memelukku sambil menangis di tengah kesenduan pagi itu, air mataku sulit menetes hari itu.
Setiap orang berbicara apa itu cinta, tetapi bagiku Cinta tidak lebih dari definisi yang tidak tersimpulkan. Dan setiap orang juga berbicara apa itu hidup, tetapi bagiku hidup tidak lebih dari sebuah proses menunggu untuk kehidupan selanjutnya.
Aku rasanya ingin berteriak, sekeras aku dulu bernanyi di atas panggung. Tapi, melihat masa sekarang ketika hampir semua orang ingin berteriak, yang terdengar di telingaku hanya tangisan tanpa air mata. Mereka ingin semua orang tau bahwa mereka menginginkan sesuatu tetapi di mataku yang terlihat hanyalah mereka sedang berusaha untuk menghabiskan energi mereka.
Kau masih ingat ketika aku menangis keras sewaktu kecil? Hanya untuk meminta mainan baru yang aku inginkan. Aku berteriak, menangis, bahkan melempar, memblokir pintu setelah aku pikir ternyata saat ini orang-orang pun melakukannya ketika dewasa. Mereka berteriak, bahkan menangis, melampar, bahkan juga memblokir jalan untuk menenutut sesuatu. Aku pikir apa bedanya dengan perilaku seorang anak kecil?
Aku kemudian berpikir ternyata manusia di negeri ini belum sepenuhnya dewasa, meskipun usia mereka sudah beranjak tua dan secara teoritis telah dinamakan manusia dewasa seperti di mata kuliah psikologi perkembangan yang aku pelajari di kampus. Aku pun menyadari bahwa aku kini telah beranjak dewasa dalam usiaku. Aku telah meninggalkan masa-masa anak-anak dan masa remajaku bersamamu. Kini aku melewati masa-masa ini sendirian tanpamu. Aku berusaha tegar bertahan dengan pijakanku yang kadang pun rapuh.
Tiga hari setelah pemakamanmu aku memutuskan untuk berangkat memulai mimpiku sendirian tanpa ditemani ibu seperti biasanya. Pertama kalinya aku pergi ke Semarang sendirian tanpa ditemani siapapun. Hanya berbekal pakaian seadanya untuk beberapa hari ke depan.
Kereta api kaligung bisnis mulai merepat di stasiun Tegal tetapi waktu untuk sholat dzuhur sudah dimulai. Aku selalu mengingat baik-baik kau selalu mengingatkanku untuk sholat tepat pada waktunya. Karena semakin banyak waktu yang tertinggal, kau bilang dosaku akan semakin bertambah. Selalu berusaha mengingatkan aku ketika tersesat, bahkan ketika aku pun tidak sadar aku tersesat.
Air wudhu yang aku ambil siang itu sebelum keberangkatanku terasa begitu segar membasahi setiap kulitku. Setiap takbir yang aku kumandangkan di sholatku siang itu telah memantapkan keinginanku untuk melanjutkan mimpiku. Melanjutkan do’a yang telah kau penjatkan untukku. Melanjutkan tugas Allah SWT untukku menimba ilmu-Nya. Semuanya terasa dalam aku rasakan siang itu di setiap gerakan sholatku. Terbayang sosokmu yang kini telah tiada. Terbayang do’a dan cinta yang telah kau berikan untukku dan cucu-cucumu yang lain. Tapi, kini aku harus pergi meninggalkan semua kenangan di sini untuk membawa mimpiku jauh di sana.
Sudah hampir enam tahun sudah dan kereta Kaligung kini semakin berganti bentuk, tidak seramai dulu. Aku menyadari bahwa semuanya kini telah berubah. Aku tak perlu berdesak-desakan seperti dulu.
Hampir enam tahun sudah kini aku berjuang dengan  segala kepayahan yang kadang aku rasakan tidak kunjung menemukan harapannya. Tetapi, di tengah kepayahanku itu, aku mencoba menemukan lagi semua cinta, semua do’a, semua anugerah yang ada di wajah-wajah orang-orang yang telah Allah izinkan untuk aku temui, aku kenal, hingga aku cintai. Ada bahasa-Nya yang aku dengar dari mereka, ada cinta-Nya yang aku rasakan dari mereka, dan ada anugerah-Nya yang aku lihat dari mereka. Meskipun tak juga sempurna seperti dirimu bagiku, mereka akan selalu menjadi warna dalam hidupku.
Kau benar selalu ada alasan untuk membuatku tetap percaya pada orang-orang yang aku cintai meskipun orang-orang itu mungkin mengecewakanku. Berusaha untuk mengambil jarak dan ketika sesuatu yang buruk terjadi, aku telah siap. Tidak lebih juga bahwa aku mungkin lebih sering mengecewakan mereka dengan segala egoisku, dengan segala kesombonganku, dengan segala sesuatunya yang mungkin hati-ku terlalu keras untuk menyadarinya.
Aku masih terus berjuang menggapai semua mimpiku, meskipun kadang aku terjatuh, terbangun, terjatuh lagi, bangun lagi dan seperti itu seterusnya. Seperti dulu kau dan ibu yang mengajariku berdiri dan berjalan. Aku belum juga menemukan sosok untukku bercerita seperti dirimu. Yang mehamahami ceritaku meskipun aku tak berucap, berusaha menguatkan aku meskipun aku tidak tau lagi bagaimana untuk bangkit.
Dunia akan terus berputar dan waktu akan terus berubah, Semuanya telah berubah. Semua cerita bukan lagi seperti cerita yang dahulu. Seberapa keras aku mencari, aku tak akan pernah menemukan sosok sepertimu lagi dalam hidupku. Tetapi, dengan cinta yang kau ajarkan padaku, aku berusaha untuk percaya pada mereka yang mewarnai hidupku. Sebenarnya itu bukan ilusi, hanya saja aku peru melihatnya dari sebuah kenyataan yang pasti bahwa semuanya akan indah pada waktunya.
Sosok yang sama sepertimu memang tidak akan temukan. Tetapi, cintamu adalah cinta Allah, yang aku yakini ada di setiap manusia dan orang-orang yang mewarnai hidupku. Ada cinta di setiap orang. Aku seharusnya bersyukur bahwa tidak semua orang mengenal kakek maupun neneknya. Beberapa juga hampir tidak mengenal ayah dan ibunya. Aku beruntung mengenal itu semua meskipun di tengah ketidak beraturan yang aku alami. Tapi, aku belajar banyak hal untuk mencintai mereka apa adanya.
Aku pernah ke Solo, dan aku teringat cintamu ketika begitu jauh malangkah hanya untuk bertemu kakakmu yang sedang terbaring sakit. Meskipun langkahmu sudah tidak setegar dulu. Meskipun akhirnya justru kau yang meninggal duluan. Maka aku pun percaya bahwa hidup itu untuk memberi, tidak usah berharap seberapa banyak apa yang akan diterima. Teruslah memberi meskipun sebenarnya kau yang lebih butuh untuk diberi.
Terima kasih Mbah, untuk setiap cinta yang kau berikan kepadaku. Untuk setiap bahasa-Nya yang berusaha kau fahamkan kepada diriku. Untuk setiap do’a yang kau panjatkan untukku. Izinkan aku untuk melangkah lebih jauh lagi menggapai setiap mimpiku, mimpi kita bersama. Meskipun aku tak tau di mana dan kapan aku akan terjatuh lagi, dan berusaha untuk bangkit sendiri tanpamu. Sepuluh ribu langkah ataupun lebih yang telah kau tempuh semoga aku bisa tempuh sepertimu.
Aku terus mempertanyakan ke mana jalan hidupku sebenarnya? Ketika melihat banyak orang sudah mulai menemukan jalan hidupnya, aku masih mencari ke mana jalan hidupku? Tetapi, cita-citaku hanya satu, ingin melihat dunia ini dengan mataku sendiri. Mungkin suatu saat aku tidak akan ada di sini lagi mengunjungi makammu seperti biasa ketika aku pulang.
Kereta Kaligungku sudah mulai siap untukku membawaku berangkat lagi ke Semarang. Sudah begitu lama aku tidak melakukan perjalanan dengan kereta api ini. Aku tau mungkin suatu saat ketika aku pulang lagi dengan kereta api ini, aku sudah bisa menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.
25 Juni 2012 sebuah tulisan kecil oleh Imam Faisal Hamzah
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar